Thanks for you VISIT :)

"sebaik-baik manusia adalah yang berguna untuk orang lain"

SEPATU :)

SEPATU :)

Senin, 19 Maret 2012

cerpen awal


Permata
Hari beratapkan kelabu siang itu. Rangkaian bunga penuh berdesakan mengitari pekarangan rumah. Satu persatu warga datang mengucapkan bela sungkawa. Matanya dikelilingi lingkaran hitam tanpa air mata. Senyumannya menggambarkan keteguhan.  Sekali lagi ia tersenyum dan menyambut uluran tangan setiap tamu yang datang.
“Hilwa yang sabar ya.. InsyaAllah disetiap cobaan akan ada hikmah yang bisa diambil” Irma, sahabatnya mencoba menguatkan hati Hilwa. “iya, syukron jazakillah. Mohon doanya”. Wangi bunga karangan tercium lebih wangi dari biasanya. Semua tamu bertanya-tanya dari mana asal wangi yang begitu harum itu. Hilwa masih menatap wajah suaminya yang diselimuti kain putih.
“Mas...semoga mas tenang di alam sana, dari sini InsyaAllah aku kan terus mendoakan mas dan menjaga serta merawat calon profesor kita. Meskipun aku tau itu sulit tanpamu. Namun Allah ternyata berkata lain. Aku di berikan semua keputusan ini untuk menjadi wanita yang lebih sabar, kuat,  dan lebih bertakwa. Aku yakin mas juga sudah tenang, aku bisa melihatnya dari senyumanmu. Dan  aku yakin kita kelak akan bertemu lagi di jannahNya.” Dengan lembut Hilwa mencium kening suaminya sambil mengelus kandungannya yang tinggal menghitung hari.
“jasad Ryan akan segera dimakamkan nak, “ Hilwa mengangguk. Dengan iring-iringan tahlil jasad Ryan dibawa ke pemakaman dan di iringi oleh seluruh tamu. Subhanallah, meski sudah jauh dari pekarangan rumah tapi wangi harum masih tercium hingga jasad sudah dikuburkan. Semua tamu berdecak kagum dan mengucap tasbih.
Satu persatu tamu pamit untuk pulang. Hilwa masih belum beranjak dari gundukan tanah yang masih basah dengan taburan bunga. “Hilwa, ayo pulang nak. Hari sudah beranjak sore, kau perlu istirahat. “ dengan mengucap bismillah Hilwa melangkah menjauhi pemakaman. ‘aku harus ikhilas menerima segala keputusan ini. Dia milik Allah.’ Senyumnya mulai mengembang.
Semilir angin sore mengiri kepulangan Hilwa bersama sang bunda. Malaikat mulai mendekati gundukan tanah yang basah itu, menebarkan cahaya dan memberikan kelapangan di ruang yang gelap dan sempit. Para malaikat tersenyum menyambut kedatangan satu lagi ahli surga.
“Hal jazaa ul ihsaani illal ihsaan”
***
Sayup-sayup suara adzan subuh memecah kesunyian fajar. Mulutnya basah dengan bacaan tasbih dan tahmid. Kamar tidur Hilwa kini terasa sunyi setelah kepergian mas Ryan. Tapi Ia tak pernah sedikitpun meninggalkan amalan-amalan yang telah diajarkan oleh almarhum. Kesetiaan cintanya kepada sang imam begitu kuat. Karena cintanya pada Sang Khalik pun begitu kuat.
Setelah usai salat subuh berjama’ah bersama sang bunda, tak biasanya Hilwa langsung masuk menuju kamar tidurnya. Biasanya, Ia langsung menuju halaman depan dan membenahi pekarangan rumah yang rumputnya masih dibasahi dengan embun pagi. Perutnya terasa begitu sakit dan dadanya sesak. Bunda yang menyadari kejanggalan itu langsung menuju kamar Hilwa.
“Ada apa Nak?perutmu sakit lagi?” memang, sejak semalam hilwa merasakan sakit yang begitu menyiksa. Dan pagi ini rasa sakit itu makin menjadi. “sebentar, bunda panggilkan dokter Selvi dulu.” “Bunda, Hilwa udah gak kuat lagi...” keringat dingin membasahi wajah dan badannya. “sabar nak, tahan sebentar. Bunda sedang menelpon dokter Selvi.”
Hilwa dan bundanya kini hanya tinggal berdua di rumah Hilwa dengan almarhum suaminya. Ayahnya sudah meninggal sejak Ia berumur 6 tahun, dan Hilwa adalah satu-satunya amanah yang Allah berikan kepada Bundanya. Panggilan bunda Dinda tak ada sambutan, tuut tuuut tuut... ‘terimakasih, ini adalah kotak suara...’ Sang bunda panik. Akhirnya bunda memanggil Bu Irma dan beberapa tetangganya untuk membantu persalinan Hilwa. Maklum saja, rumah Hilwa jauh dari pusat kota. Satu-satunya jalan adalah dokter Selvi yang biasa beroperasi di kampung ini. Namun kali ini dokter Selvi ternyata tidak bisa membantu. Waktunya sudah tidak memungkinkan untuk membawa Hilwa ke rumah sakit.
“Bunda...Hilwa gak kuat...” wajahnya makin dibanjiri keringat dingin. Sambil terus beistighfar Hilwa mencoba untuk tetap tenang. Tapi terlambat, darah segar mengalir membasahi kakinya. “Allahu akbar...Bu Irma, air ketuban Hilwa udah pecah. pie iki...” Bunda makin panik. Dengan sigap Bu irma dan beberapa ibu-ibu lainnya langsung melakukan persalinan.
***
“Hilwa...permatamu selamat...” Bu Irma menyerahkan bayi mungil itu kepada Hilwa yang masih berbaring. “Subhanallah, kamu cantik sekali nak..matamu seperti abi, dan mulutmu pun mirip sekali dengan abi. Kau seperti pengganti abi dengan wujud wanita yang cantik jelita. Semoga kelak kau bisa meneruskan perjuangan abimu, meski dirimu seorang perempuan. Tetapi kau bisa menjadi mujahidah sejati.” Bayi mungil itu menangis dengan suara yang begitu nyaring.
Setelah kelahiran ‘Hilyah’, rumah yang dihuni Hilwa dan bundanya kini lebih berwarna. Hilyah kecil begitu lincah dan pintar. Tahun demi tahun pun terlewat, Hilyah tumbuh menjadi sosok perempuan cantik dan berbakti kepada Bunda dan Uminya.
“Umi...besok Hilyah ada pentas seni di sekolah, umi dateng yaa, Hilyah nanti baca puisi di atas panggung.” Hilyah sekarang sudah duduk di kelas satu sekolah dasar. Hilwa tersenyum dan memeluk permatanya. “iya sayang, insyaAllah umi nanti dateng.” “Bunda juga ikut dong...” Hilyah berbalik arah ke hadapan Bunda. “Bunda kalo mau ikut harus bawain aku kue yang banyaak banget...hhe” “tenang aja, besok bunda bikinin kue kesukaan Hilyah. Yang banyaaak banget..hhe” tawa mereka pun pecah.
Tak kuasa Hilwa membendung air mata bahagianya. ‘mas Ryan, anakmu sangat pintar. Semoga ia mewarisi sifat-sifat baik yang kau punya’. “Umi kok ngelamun?” Hilyah menggelayut manja. “gak kok sayang, umi gak ngelamun. Umi Cuma lagi mikir, beruntung banget umi punya anak yang cantik dan pinter kaya Hilyah.” “hhe, umi bisa aja.” “umi sayang Hilyah...” kecupan Hilwa kepada anaknya begitu lembut. “Hilyah juga sayang sama umi..”.
***
Sang mentari belum menampakkan wajahnya. Hilwa dan bunda sedang menjalankan rutinitas subuh seperti biasanya. Hilwa yang sedang menyapu pekarangan rumah tiba-tiba terjatuh. Bunda tersentak melihat darah yang keluar dari kepala Hilwa. “tolooong....tolooong...” para tetangga membantu membawa Hilwa ke puskesmas terdekat.
Keributan itu membangunkan Hilyah yang sedang tertidur. “Bunda...umi kenapa?” “Umi tadi Cuma kepeleset kok sayang, gak usah khawatir yah. Sekarang yang nganter Hilyah sekolah bunda yaa..” “gak mau, Umi kan janji hari ini mau dateng ke sekolah. Umi udah janji mau ngeliat hilyah neik ke atas panggung. Kenapa umi boong?” “Nanti umi nyusul ke sekolah Hilyah..nih bunda udah buatin kue kesukaan Hilyah..”. “gak mau. Pokoknya aku gak  mau berangkat kalo gak sama umi..”
Akhirnya Hilyah dan Bunda pergi ke puskesmas untuk menjenguk Hilwa. Selama perjalanan Hilyah tak henti-hentinya bercerita tentang Hilwa. Saat pertama kali Hilyah masuk sekolah, ketika Hilyah dan Hilwa bermain kejar-kejaran, dan ketika Hilwa menceritakan tentang Abinya tadi malam. Hilyah anak yang begitu pintar, meskipun Ia masih kelas satu sekolah dasar, kata-kata yang diucapkannya begitu dewasa dibandingkan dengan umurnya sekarang.
Sampai di puskesmas Hilyah langsung berlari-lari menuju ruang gawat darurat. Sampai di sana, tampak orang-orang sedang berkerumun mengelilingi Hilwa yang terbaring di atas kasur pasien. Hilyah yang lincah langsung menerobos kerumunan itu.
“umi....umi kok masih tidur?katanya umi mau hadir di acara pentas Hiyah?umi udah janji mau ngeliat Hilyah baca puisi. Umi banguun...” Hilyah menepuk pelan pipi Hilwa dan menciumnya. “umi kok udah dicium Hilyah masih tetep belum bangun?biasanya umi langsung bangun kalo Hilyah cium. Umi bangun, umi kok mukanya pucet?umi sakit?”
“Hilyah...umi Hilyah lagi tidur...”Bu Irma mencoba menghibur Hilyah. “kalo umi tidur kenapa gak bangun-bangun dari tadi?umi, Hilyah gak mau ke sekolah kalo umi gak bangun. Umi anter Hilyah sekolah....” tangis hilyah pecah. “umi...jangan bilang umi mau nyusul abi...nanti hilyah gak ada temen main lagi umi...nanti gak ada yang ngajarin Hilyah ngaji lagi...” Hilyah masih terisak. Bunda menghampiri dan memeluk Hilyah.
“Sayang...umi kamu sekarang udah dipanggil sama Allah. Umi pergi bukan mau ninggalin kamu, tapi Allah udah kangen sama umi Hilyah. Di sana juga abi udah nungguin umi di sana. Hilyah di sini masih ada Bunda, nanti Bunda bikinin kue kesukaan Hilyah. Hilyah ikhlaskan Umi nyusul abi?biar Abi gak kesepian” Hilyah melepas pelukan Bunda dan mencium kening Uminya.
“Umi...baik baik ya di sana sama Abi...nanti kalo Hilyah udah hafal qur’an, Hilyah nyusul umi sama abi buat ngasih mahkota di surga. Hilyah sayang Umi..”
***
Tahun demi tahun berlalu. Hilyah tumbuh menjadi anak yang cantik dan dewasa, bahkan lebih dewasa dari umur anak seusianya. Tetapi Hilyah tetap seorang anak sekolah dasar yang membutuhkan sentuhan kasih sayang orang tua. Seperti halnya teman-teman Hilyah yang lain.
Prestasi yang di capai Hilyah semakin lama semakin meningkat. Hilyah tumbuh sebagai anak perempuan yang pintar seperti ayahnya. Ia mendapat beasiswa menuju sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas. Ia berazzam akan meneruskan cita-cita ayahnya untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di kampungnya.
Ia juga bercita-cita sebagai seorang cendikiawan muslim. Meskipun sering merasa kesepian, tapi Hilyah tidak pernah merasa sendiri. Ia yakin Allah akan selalu menemaninya di manapun dan kapan pun. Ia juga mewarisi sifat sabar dan cinta kepada Rabb yang sangat kuat dari kedua orang tuanya.
Bunda yang selalu setia menemani dan menyemangati Hilyah hingga Hilyah menginjak usia dewasa. Hingga sampai saat ini Hilyah akan melanjutkan sekolahnya menuju perguruan tinggi. Sifatnya yang selalu yakin akan janji Allah membawa Hilyah menuju perguruan tinggi Negeri yang diimpikannya. Allah sesuai dengan prasangka hambaNya, dan setiap kebaikan hanya untuk kebaikan pula. Dua prinsip yang selalu Ia tekuni dan menjadi motivasinya ketika ia lemah. Ia yakin, jika Ia berusaha dan selalu berdoa, Ia akan mendapatkan apa yang Ia cita-citakan.
***
                Sang permata yang masih bersinar merangkul benih-benih penghuni surga Allah. Dari bibirnya yang basah dengan dzikir keluar lantunan ayat-ayat suci al-qur’an. Anak-anak kecil yang menegelilinginya mengucap ulang apa yang dibacakan.
                “Ustadzah, aku ingin seperti ustadzah bisa hafal satu Al-qur’an..” anak kecil itu menggelayut manja ke guru ngaji sekaligus ibunya di pesantren Al-Misbah ini. “InsyaAllah Ismah..jika kamu mau berusaha dan terus berdoa, apa yang Ismah cita-citakan dapat terwujud. Sekarang bantu ustadzah membereskan buku-buku di perpustakaan yuk.. ”
                Semilir angin mengibarkan kerudung Hilyah menuju perpustakaan pesantren yang Ia dirikan bersama suaminya, seorang cendekiawan muslim yang sama-sama menuntut ilmu di Universitas negeri Al-Azhar bersamanya dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biogenesis :)

Biogenesis :)

Pengunjung