Permata
Hari beratapkan kelabu siang itu.
Rangkaian bunga penuh berdesakan mengitari pekarangan rumah. Satu persatu warga
datang mengucapkan bela sungkawa. Matanya dikelilingi lingkaran hitam tanpa air
mata. Senyumannya menggambarkan keteguhan.
Sekali lagi ia tersenyum dan menyambut uluran tangan setiap tamu yang
datang.
“Hilwa yang sabar ya.. InsyaAllah
disetiap cobaan akan ada hikmah yang bisa diambil” Irma, sahabatnya mencoba
menguatkan hati Hilwa. “iya, syukron jazakillah. Mohon doanya”. Wangi bunga
karangan tercium lebih wangi dari biasanya. Semua tamu bertanya-tanya dari mana
asal wangi yang begitu harum itu. Hilwa masih menatap wajah suaminya yang
diselimuti kain putih.
“Mas...semoga mas tenang di alam
sana, dari sini InsyaAllah aku kan terus mendoakan mas dan menjaga serta
merawat calon profesor kita. Meskipun aku tau itu sulit tanpamu. Namun Allah
ternyata berkata lain. Aku di berikan semua keputusan ini untuk menjadi wanita
yang lebih sabar, kuat, dan lebih
bertakwa. Aku yakin mas juga sudah tenang, aku bisa melihatnya dari senyumanmu.
Dan aku yakin kita kelak akan bertemu
lagi di jannahNya.” Dengan lembut Hilwa mencium kening suaminya sambil mengelus
kandungannya yang tinggal menghitung hari.
“jasad Ryan akan segera
dimakamkan nak, “ Hilwa mengangguk. Dengan iring-iringan tahlil jasad Ryan
dibawa ke pemakaman dan di iringi oleh seluruh tamu. Subhanallah, meski sudah
jauh dari pekarangan rumah tapi wangi harum masih tercium hingga jasad sudah
dikuburkan. Semua tamu berdecak kagum dan mengucap tasbih.
Satu persatu tamu pamit untuk
pulang. Hilwa masih belum beranjak dari gundukan tanah yang masih basah dengan
taburan bunga. “Hilwa, ayo pulang nak. Hari sudah beranjak sore, kau perlu
istirahat. “ dengan mengucap bismillah Hilwa melangkah menjauhi pemakaman. ‘aku
harus ikhilas menerima segala keputusan ini. Dia milik Allah.’ Senyumnya mulai
mengembang.
Semilir angin sore mengiri
kepulangan Hilwa bersama sang bunda. Malaikat mulai mendekati gundukan tanah
yang basah itu, menebarkan cahaya dan memberikan kelapangan di ruang yang gelap
dan sempit. Para malaikat tersenyum menyambut kedatangan satu lagi ahli surga.
“Hal jazaa ul ihsaani illal ihsaan”
***
Sayup-sayup suara adzan subuh
memecah kesunyian fajar. Mulutnya basah dengan bacaan tasbih dan tahmid. Kamar
tidur Hilwa kini terasa sunyi setelah kepergian mas Ryan. Tapi Ia tak pernah
sedikitpun meninggalkan amalan-amalan yang telah diajarkan oleh almarhum.
Kesetiaan cintanya kepada sang imam begitu kuat. Karena cintanya pada Sang
Khalik pun begitu kuat.
Setelah usai salat subuh
berjama’ah bersama sang bunda, tak biasanya Hilwa langsung masuk menuju kamar
tidurnya. Biasanya, Ia langsung menuju halaman depan dan membenahi pekarangan
rumah yang rumputnya masih dibasahi dengan embun pagi. Perutnya terasa begitu
sakit dan dadanya sesak. Bunda yang menyadari kejanggalan itu langsung menuju
kamar Hilwa.
“Ada apa Nak?perutmu sakit lagi?”
memang, sejak semalam hilwa merasakan sakit yang begitu menyiksa. Dan pagi ini
rasa sakit itu makin menjadi. “sebentar, bunda panggilkan dokter Selvi dulu.” “Bunda,
Hilwa udah gak kuat lagi...” keringat dingin membasahi wajah dan badannya.
“sabar nak, tahan sebentar. Bunda sedang menelpon dokter Selvi.”
Hilwa dan bundanya kini hanya
tinggal berdua di rumah Hilwa dengan almarhum suaminya. Ayahnya sudah meninggal
sejak Ia berumur 6 tahun, dan Hilwa adalah satu-satunya amanah yang Allah
berikan kepada Bundanya. Panggilan bunda Dinda tak ada sambutan, tuut tuuut
tuut... ‘terimakasih, ini adalah kotak suara...’ Sang bunda panik. Akhirnya
bunda memanggil Bu Irma dan beberapa tetangganya untuk membantu persalinan
Hilwa. Maklum saja, rumah Hilwa jauh dari pusat kota. Satu-satunya jalan adalah
dokter Selvi yang biasa beroperasi di kampung ini. Namun kali ini dokter Selvi
ternyata tidak bisa membantu. Waktunya sudah tidak memungkinkan untuk membawa
Hilwa ke rumah sakit.
“Bunda...Hilwa gak kuat...”
wajahnya makin dibanjiri keringat dingin. Sambil terus beistighfar Hilwa
mencoba untuk tetap tenang. Tapi terlambat, darah segar mengalir membasahi
kakinya. “Allahu akbar...Bu Irma, air ketuban Hilwa udah pecah. pie iki...”
Bunda makin panik. Dengan sigap Bu irma dan beberapa ibu-ibu lainnya langsung
melakukan persalinan.
***
“Hilwa...permatamu selamat...” Bu
Irma menyerahkan bayi mungil itu kepada Hilwa yang masih berbaring.
“Subhanallah, kamu cantik sekali nak..matamu seperti abi, dan mulutmu pun mirip
sekali dengan abi. Kau seperti pengganti abi dengan wujud wanita yang cantik
jelita. Semoga kelak kau bisa meneruskan perjuangan abimu, meski dirimu seorang
perempuan. Tetapi kau bisa menjadi mujahidah sejati.” Bayi mungil itu menangis
dengan suara yang begitu nyaring.
Setelah kelahiran ‘Hilyah’, rumah
yang dihuni Hilwa dan bundanya kini lebih berwarna. Hilyah kecil begitu lincah
dan pintar. Tahun demi tahun pun terlewat, Hilyah tumbuh menjadi sosok
perempuan cantik dan berbakti kepada Bunda dan Uminya.
“Umi...besok Hilyah ada pentas
seni di sekolah, umi dateng yaa, Hilyah nanti baca puisi di atas panggung.”
Hilyah sekarang sudah duduk di kelas satu sekolah dasar. Hilwa tersenyum dan
memeluk permatanya. “iya sayang, insyaAllah umi nanti dateng.” “Bunda juga ikut
dong...” Hilyah berbalik arah ke hadapan Bunda. “Bunda kalo mau ikut harus
bawain aku kue yang banyaak banget...hhe” “tenang aja, besok bunda bikinin kue
kesukaan Hilyah. Yang banyaaak banget..hhe” tawa mereka pun pecah.
Tak kuasa Hilwa membendung air
mata bahagianya. ‘mas Ryan, anakmu sangat pintar. Semoga ia mewarisi
sifat-sifat baik yang kau punya’. “Umi kok ngelamun?” Hilyah menggelayut manja.
“gak kok sayang, umi gak ngelamun. Umi Cuma lagi mikir, beruntung banget umi
punya anak yang cantik dan pinter kaya Hilyah.” “hhe, umi bisa aja.” “umi
sayang Hilyah...” kecupan Hilwa kepada anaknya begitu lembut. “Hilyah juga
sayang sama umi..”.
***
Sang mentari belum menampakkan
wajahnya. Hilwa dan bunda sedang menjalankan rutinitas subuh seperti biasanya.
Hilwa yang sedang menyapu pekarangan rumah tiba-tiba terjatuh. Bunda tersentak
melihat darah yang keluar dari kepala Hilwa. “tolooong....tolooong...” para
tetangga membantu membawa Hilwa ke puskesmas terdekat.
Keributan itu membangunkan Hilyah
yang sedang tertidur. “Bunda...umi kenapa?” “Umi tadi Cuma kepeleset kok
sayang, gak usah khawatir yah. Sekarang yang nganter Hilyah sekolah bunda
yaa..” “gak mau, Umi kan janji hari ini mau dateng ke sekolah. Umi udah janji
mau ngeliat hilyah neik ke atas panggung. Kenapa umi boong?” “Nanti umi nyusul
ke sekolah Hilyah..nih bunda udah buatin kue kesukaan Hilyah..”. “gak mau.
Pokoknya aku gak mau berangkat kalo gak
sama umi..”
Akhirnya Hilyah dan Bunda pergi
ke puskesmas untuk menjenguk Hilwa. Selama perjalanan Hilyah tak henti-hentinya
bercerita tentang Hilwa. Saat pertama kali Hilyah masuk sekolah, ketika Hilyah
dan Hilwa bermain kejar-kejaran, dan ketika Hilwa menceritakan tentang Abinya
tadi malam. Hilyah anak yang begitu pintar, meskipun Ia masih kelas satu
sekolah dasar, kata-kata yang diucapkannya begitu dewasa dibandingkan dengan
umurnya sekarang.
Sampai di puskesmas Hilyah
langsung berlari-lari menuju ruang gawat darurat. Sampai di sana, tampak
orang-orang sedang berkerumun mengelilingi Hilwa yang terbaring di atas kasur
pasien. Hilyah yang lincah langsung menerobos kerumunan itu.
“umi....umi kok masih
tidur?katanya umi mau hadir di acara pentas Hiyah?umi udah janji mau ngeliat
Hilyah baca puisi. Umi banguun...” Hilyah menepuk pelan pipi Hilwa dan
menciumnya. “umi kok udah dicium Hilyah masih tetep belum bangun?biasanya umi
langsung bangun kalo Hilyah cium. Umi bangun, umi kok mukanya pucet?umi sakit?”
“Hilyah...umi Hilyah lagi
tidur...”Bu Irma mencoba menghibur Hilyah. “kalo umi tidur kenapa gak
bangun-bangun dari tadi?umi, Hilyah gak mau ke sekolah kalo umi gak bangun. Umi
anter Hilyah sekolah....” tangis hilyah pecah. “umi...jangan bilang umi mau nyusul
abi...nanti hilyah gak ada temen main lagi umi...nanti gak ada yang ngajarin
Hilyah ngaji lagi...” Hilyah masih terisak. Bunda menghampiri dan memeluk
Hilyah.
“Sayang...umi kamu sekarang udah
dipanggil sama Allah. Umi pergi bukan mau ninggalin kamu, tapi Allah udah
kangen sama umi Hilyah. Di sana juga abi udah nungguin umi di sana. Hilyah di
sini masih ada Bunda, nanti Bunda bikinin kue kesukaan Hilyah. Hilyah ikhlaskan
Umi nyusul abi?biar Abi gak kesepian” Hilyah melepas pelukan Bunda dan mencium
kening Uminya.
“Umi...baik baik ya di sana sama
Abi...nanti kalo Hilyah udah hafal qur’an, Hilyah nyusul umi sama abi buat
ngasih mahkota di surga. Hilyah sayang Umi..”
***
Tahun demi
tahun berlalu. Hilyah tumbuh menjadi anak yang cantik dan dewasa, bahkan lebih
dewasa dari umur anak seusianya. Tetapi Hilyah tetap seorang anak sekolah dasar
yang membutuhkan sentuhan kasih sayang orang tua. Seperti halnya teman-teman
Hilyah yang lain.
Prestasi yang
di capai Hilyah semakin lama semakin meningkat. Hilyah tumbuh sebagai anak
perempuan yang pintar seperti ayahnya. Ia mendapat beasiswa menuju sekolah
menengah pertama sampai sekolah menengah atas. Ia berazzam akan meneruskan
cita-cita ayahnya untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di kampungnya.
Ia juga
bercita-cita sebagai seorang cendikiawan muslim. Meskipun sering merasa
kesepian, tapi Hilyah tidak pernah merasa sendiri. Ia yakin Allah akan selalu
menemaninya di manapun dan kapan pun. Ia juga mewarisi sifat sabar dan cinta
kepada Rabb yang sangat kuat dari kedua orang tuanya.
Bunda yang
selalu setia menemani dan menyemangati Hilyah hingga Hilyah menginjak usia
dewasa. Hingga sampai saat ini Hilyah akan melanjutkan sekolahnya menuju
perguruan tinggi. Sifatnya yang selalu yakin akan janji Allah membawa Hilyah
menuju perguruan tinggi Negeri yang diimpikannya. Allah sesuai dengan prasangka
hambaNya, dan setiap kebaikan hanya untuk kebaikan pula. Dua prinsip yang
selalu Ia tekuni dan menjadi motivasinya ketika ia lemah. Ia yakin, jika Ia
berusaha dan selalu berdoa, Ia akan mendapatkan apa yang Ia cita-citakan.
***
Sang
permata yang masih bersinar merangkul benih-benih penghuni surga Allah. Dari
bibirnya yang basah dengan dzikir keluar lantunan ayat-ayat suci al-qur’an. Anak-anak
kecil yang menegelilinginya mengucap ulang apa yang dibacakan.
“Ustadzah,
aku ingin seperti ustadzah bisa hafal satu Al-qur’an..” anak kecil itu
menggelayut manja ke guru ngaji sekaligus ibunya di pesantren Al-Misbah ini.
“InsyaAllah Ismah..jika kamu mau berusaha dan terus berdoa, apa yang Ismah
cita-citakan dapat terwujud. Sekarang bantu ustadzah membereskan buku-buku di
perpustakaan yuk.. ”
Semilir
angin mengibarkan kerudung Hilyah menuju perpustakaan pesantren yang Ia dirikan
bersama suaminya, seorang cendekiawan muslim yang sama-sama menuntut ilmu di
Universitas negeri Al-Azhar bersamanya dulu.